Senin, 20 Oktober 2008

Baranangsiang-Bubulak dengan Jelantah

Dari sebuah dapur yang resik, Hotel Salak memanjakan tamu-tamunya dengan beragam penganan. Minyak hanya digunakan untuk sekali menggoreng, sehingga limbahnya berupa jelantah relatif banya k, 72 liter per hari. Minyak limbah itulah yang menjadi campuran bahan bakar bus kota Trans-Pakuan setelah diproses menjadi biodiesel.

Setiap pekan Hasim Hanafie, manajer teknik Hotel Salak membawa jelantah itu ke Cimanggu, Kota Bogor, berjarak 7 km. Selain dari dapur hotel, ia juga mendapatkan jelantah dari Pemerintah Kota Bogor asal pengepul. Minyak-minyak itu dikirim ke instalasi produksi di Cimanggu.

Di sana berdiri bangunan sederhana seluas 100 m2. Perusahaan yang mengelola hotel tertua di Bogor itu mencemplungkan dana Rp120-juta untuk membangun instalasi pengolahan jelantah menjadi biodiesel.

Alat penyaring hingga pemisahan biodiesel tersedia di sana. Kapasitas alat 150 liter/3 jam. Menurut Hasim, membuat biodiesel jelantah relatif mudah lantaran hanya menggunakan metode esterifikasi, tanpa transesterifi kasi. Setelah bersalin rupa menjadi biodiesel, jelantah menjadi bahan bakar, bukan jelantah biasa.

Kualitas biodiesel jelantah tak kalah dengan solar sekalipun. Titik nyala biodiesel jelantah 180oC sama dengan solar, nilai kalor 39,410 MJ/kg. Beginilah cara Hasyim membikin biodiesel jelantah yang menjadi bahan bakar Trans-Pakuan. (Vina Fitriani)

Tidak ada komentar: