Senin, 20 Oktober 2008

Dr Bayu Krisnamurthi MSi 'Untuk Komersial, Tak Mungkin'

Bagai laron beterbangan pada musim pancaroba. Begitulah kemunculan produsen bioetanol skala rumahan dalam setahun terakhir. Komoditas kuno yang sudah diusahakan sejak zaman Singosari atau 700 tahun lampau itu sekarang digeluti banyak produsen. Harap mafhum, cadangan minyak bumi menipis, harga minyak terus membubung, dan besarnya potensi pasar menyebabkan orang berlomba-lomba memproduksi bioetanol.

'Jangan memperhitungkan harga, yang penting produksi dan dipakai sendiri,' kata Dr Bayu Krisnamurthi, Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan mengomentari maraknya produsen bioetanol skala rumahan. Menurut Bayu berkembangnya produsen bioetanol di berbagai daerah, menyebabkan menurunnya biaya energi. Sebab, minyak bumi sebagai bahan bakar utama, produksinya masih terpusat di daerah-daerah tertentu. Dampaknya harga minyak bumi di wilayah yang jauh dari pusat produksi, hampir 2 kali lipat ketimbang harga di daerah lain.

Faktor penambahnya adalah biaya transportasi yang persentasenya cukup tinggi. 'Jika produksinya dari pengolahan sumber daya alam potensial di masing-masing daerah, biayanya pun lebih murah,' kata doktor Sosial Ekonomi Pertanian alumnus Institut Pertanian Bogor itu. Selain menurunkan biaya energi dan memasok kekurangan bahan bakar, produksi bioetanol skala rumahan juga memperluas lapangan kerja sekaligus meningkatkan pemanfaatan bahan nabati. Singkat kata, produksi bioetanol berefek ganda.

Dampak lain? 'Masyarakat ikut membantu meminimalkan pemanasan global. Akibat langsung pemanasan bumi antara lain perubahan iklim yang membuat pola musim tidak menentu sehingga mempengaruhi produktivitas tanaman pangan dan ketersediaan air,' ujar Bayu. Ekonomiskah produsen bioetanol skala rumahan? Apakah bioetanol layak sebagai substitusi bahan bakar? Pria kelahiran Manado 18 Oktober 1964 itu menjawab panjang-lebar persoalan di seputar bahan bakar nabati dalam wawancara dengan reporter Majalah Trubus Vina Fitriani. Berikut petikannya.

Harga minyak bumi di pasar dunia meningkat US$90-US$100 per barel. Seberapa besar dampaknya terhadap perekonomian Indonesia?

Banyak dampaknya. Yang paling terasa adalah subsidi pemerintah terhadap bahan bakar minyak semakin besar. Subsidi untuk minyak tanah antara Rp4.000-Rp5.000 per liter. Nilai itu sangat besar karena konsumsi minnyak tanah sangat tinggi. Peningkatan harga itu juga berdampak pada industri. Industri membeli bahan bakar tanpa subsidi. Artinya, biaya produksi industri bakal meningkat tajam diikuti naiknya harga bahan baku. Demikian juga transportasi udara dan laut yang tidak disubsidi. Harga barang-barang yang menggunakan jasa kedua jenis transportasi itu meningkat tajam.

Bagaimana dengan harga bahan bakar transportasi darat?

Selama disubsidi, harga tak akan berpengaruh banyak. Kenaikan harga BBM akan distabilkan dengan subsidi pemerintah. Jumlah penggunaan BBM juga masih stabil walau jumlah penduduk dan perekonomian meningkat. Namun, harga minyak dunia yang tidak stabil dan kerap melonjak tinggi menyebabkan subsidi semakin tinggi.

Apakah produksi bioetanol dapat menanggulangi peningkatan harga bahan bakar fosil?

Sebenarnya keinginan untuk diversifikasi energi sudah berlangsung lama, bukan hanya sekarang. Dua puluh tahun lalu, para ahli teknologi mengulas bahan bakar nabati dengan alasan kelestarian lingkungan, mengurangi polusi, dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Namun, sejak 2005 muncul alasan kuat untuk melakukan diversifikasi energi itu: naiknya harga bahan bakar minyak bumi di pasar internasional. Harga minyak mencapai US$50-US$60 per barel. Mau tak mau diversifikasi energi menjadi keharusan, bahkan mendesak untuk mengurangi beban biaya energi masyarakat, khususnya rakyat miskin.

Namun, setelah dihitung-hitung biaya untuk memproduksi minyak nabati mencapai US$70-US$80 per barel (1 barel = 158,97 liter, red). Artinya, jika harga minyak dunia lebih rendah daripada US$70, produksi bahan bakar nabati tak lagi layak. Lebih baik menggunakan minyak bumi. Apalagi ada penelitian menyatakan bila seluruh bahan pangan di dunia dikonversi menjadi bahan bakar nabati, tak cukup untuk menggantikan jumlah kebutuhan minyak bumi dunia. Makanya bahan bakar nabati sifatnya hanya mengoplos bahan bakar fosil. Harganya cenderung masih bisa ditolerir, asal pasokannya cukup.

Sekarang bermunculan produsen bioetanol skala rumahan. Ekonomis?

Produksi bioetanol skala rumahan untuk komersial tak mungkin. Kecuali untuk keperluan sendiri. Jika untuk komersial, berapa jumlah yang bisa dipasok oleh produsen? Kalau hanya 10-20 liter tak mungkin bisa dijual ke SPBU yang pasokannya harus 50.000 liter. (Kepada Trubus Ir Yuttie Nurianti, manajer Pengembangan Produk Baru Pertamina mengatakan, 'Pertamina menerima berapa pun pasokan bioetanol dari pihak swasta. Yang penting memenuhi syarat berkadar etanol minimal 99,5%.' red).

Pola pengembangan bahan bakar nabati skala kecil dan menengah menyerap bahan baku yang diproduksi oleh kebun rakyat. Hasil pengolahan skala kecil biasanya dikemas sederhana dan didistribusikan tidak terlalu luas, misalnya satu kecamatan atau satu pulau kecil. Targetnya untuk konsumsi rumah tangga dan mesin-mesin produksi seperti perontok dan penggilingan padi, generator kecil, perahu nelayan, dan mesin pengering tembakau.

Metode semacam itu yang digunakan pemerintah untuk mengembangkan 178 desa mandiri energi?

Cara itu lebih efektif lantaran sebuah desa memiliki potensi untuk menggarap energi sesuai kebutuhannya. Contoh konkret adalah desa nelayan di Ujunggenteng, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Karena mahalnya ongkos pengiriman, harga solar Rp8.000 per liter, dari normalnya Rp4.500 per liter. Dengan memproduksi minyak dari biji jarak pagar, harganya mungkin hanya Rp5.000 per liter, lebih rendah dibanding mengambil solar dari daerah lain. Jadi bahan bakar nabati tidak harus dikembangkan secara sentralisasi.

Bagaimana dengan ketersediaan bahan baku?

Ada baiknya jika bahan bakunya berasal dari limbah seperti jerami atau sekam. Jumlahnya melimpah tapi tak dilirik. Padahal, jika dibuat arang briket jadi alternatif batubara atau solar industri. Sekam kini diusahakan menjadi energi listrik di Tabanan, Bali. Pembangunan pembangkit listrik tenaga sekam itu ramah lingkungan, dalam lima tahun mengurangi produksi 12,5-juta ton karbon. Saat ini, juga banyak pabrik sawit mengolah limbah berupa cangkang dan tandan kosong sebagai bahan bakar. Aktivitas itu mensubstitusi 30-40% kebutuhan solar pabrik pengolah kelapa sawit. Itulah fungsinya bahan baku nabati, mensubstitusi kebutuhan sendiri, bukan untuk komersial. Kalaupun bioetanol diberlakukan secara komersial, harus skala besar. Seperti Brasil, mereka mengolah bioetanol tebu dengan skala ribuan hektar.

Mungkinkah bahan baku bioetanol bersaing dengan bahan pangan?

Jika bahan baku bahan bakar nabati berbasis pangan, tentu saja ada persaingan. Di Amerika Serikat sekarang tengah dibangun 100 kilang bahan bakar nabati berbahan bakar jagung. Otomatis, produksi jagung di dunia diperebutkan dan harganya melonjak 30-40%. Banyak pabrik minyak makan asal jagung yang tidak kebagian pasokan. Akhirnya harga minyak makan meningkat. Kondisinya bakal sama dengan singkong. Dulu sebelum tren bioetanol mungkin harganya cuma Rp300 per kg, sekarang melonjak Rp1.000 per kg.

Walau sekarang produksi singkong 150 ton per ha, tetapi produk olahan singkong lain seperti pelet tetap terkena imbas karena kekurangan pasokan sehingga menaikkan harga. Pada akhirnya petani memilih menjual singkong ke pembeli dengan harga tertinggi. Makin berkurang pasokan, harga singkong semakin tinggi. Produksi bioetanol tak lagi layak menggantikan minyak bumi lantaran harga bahan bakunya saja sudah tinggi. Namun, jika dilihat dari ketersediaan pasokan bahan baku, kelapa sawit sumber bahan bakar nabati paling siap. Dari hitung-hitungan keseimbangan energi yang masuk atau keluar dan emisi yang dikeluarkan saat penanaman maupun produksi, kelapa sawit paling bagus untuk bioetanol maupun biosolar.

Bagaimana kontribusi bioetanol di Indonesia pada masa mendatang?

Pemerintah memiliki beberapa arahan kebijakan energi. Salah satu yang terpenting adalah terdapat komposisi berimbang dalam bauran sumber energi Indonesia. Saat ini masih bertumpu pada minyak bumi mencapai 54%, gas bumi 26%, dan batubara 14%. Pada 2025 diharapkan kebutuhan minyak bumi kurang dari 20%, gas bumi lebih dari 30%, batubara lebih dari 33%, batubara yang dicairkan lebih dari 2%, energi baru dan terbarukan (biomas, air, angin, surya, nuklir) lebih dari 5%, dan kontribusi bahan bakar nabati lebih dari 5% dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional. Sayangnya, pasokan bahan bakar nabati saat ini makin berkurang. Lihat saja beberapa SPBU kini mulai menurunkan kadar bioetanol, sebelumnya 5% sekarang cuma 2,5%. Sebab, meski semakin banyak konsumen tertarik menggunakan bahan bakar nabati, tapi pasokannya tetap.***

Tidak ada komentar: