Senin, 20 Oktober 2008

Padi Hibrida Solusi Tingkatkan Produksi

Sebagai kepala desa, Haryanto sebetulnya tak perlu bersusah payah menggarap sawah. Tanah bengkok yang digarapnya berkali-kali ditawar pengusaha di Surakarta. Jika dijual, harga lahan 5,2 ha itu mencapai Rp62,4-juta.

Haryanto yang menjabat kepala Desa Jati, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah sejak 2007 itu menolak. Pria 41 tahun itu memilih menggarap sawah bengkok. Ia menanami lahan di ketinggian 600 dpl itu dengan padi. Pada November 2007 ia menuai 57,2 ton dari lahan 5,2 ha. Artinya produksi mencapai 11 ton/ha. Bandingkan dengan produksi rata-rata padi di Indonesia yang cuma 4 ton sehektar.

Yang ditanam Haryanto memang bukan padi biasa. Pria kelahiran 9 Juni 1967 itu membudidayakan padi hibrida. Semula Haryanto enggan menggunakan benih hibrida. Alasannya, harga benih mahal, 3 kali lipat benih padi biasa, berkisar Rp30.000 - Rp50.000 per kg. Harga benih inbrida rata-rata Rp4.000/kg. Namun, tawaran hasil panen yang menjulang mem-buat Haryanto tergerak menanam padi hibrida.

Ia menghabiskan 15 kg benih padi atau total Rp450-ribu/ha. Sebagai ujicoba Haryanto hanya menanam di lahan seluas 1,5 ha. Empat bulan berselang, Haryanto kaget ketika hasil panennya 9,8 ton gabah per hektar. Padahal, warga di sekitar yang menanam padi lokal hanya menuai 8 ton/ha.
Untung tinggi

Bangga dengan hasil panennya, Haryanto menanami seluruh lahannya dengan padi hibrida arize. Menurut Haryanto biaya produksi padi hibrida Rp4-juta; padi biasa Rp3-juta per ha. Namun, keuntungan menanam padi hibrida lebih tinggi. Sebab, selain produksinya tinggi, harga jual padi hibrida pun Rp300 lebih tinggi dibanding padi biasa yang berharga Rp2.000/kg gabah kering giling.

Ketika lahan 5,2 ha ditanami padi hibrida, Haryanto semakin terkagum-kagum karena memanen 11 ton/ha. Saat itu Haryanto mengantongi laba bersih lebih dari Rp80-juta dari penjualan gabah hasil panen. Duit itu sebagian digunakan untuk membeli sebuah mobil dan sebagai modal bertanam padi kembali.

Keuntungan menggunakan padi hibrida bukan milik Haryanto semata. Di Desa Sleman, Jatibarang, Indramayu, misalnya, Koswara juga membudidayakan padi hibrida. Musim panen Mei 2007, dari lahan ujicoba padi hibrida seluas 100 m2 Koswara memperoleh 7 kuintal. Itu berarti 5 kuintal lebih rendah dibanding padi lokal yang ditanamnya. Oleh sebab itu, ia enggan menanam padi hibrida. Namun, tawaran menanam padi hibrida jenis lain meluluhkan hatinya. Awal musim tanam 2008, Koswara kembali menanam padi hibrida. Hasil panennya menjulang hingga 15 ton/ha.

Koswara membutuhkan 15 kg benih padi hibrida untuk setiap hektar. Ia mem-beli benih seharga Rp36.000/kg. 'Total biaya benih berikut pupuk Urea 250 kg/ha dan TSP 200 kg/ha Rp4,5-juta/ha,' kata Koswara. Namun biaya yang lebih tinggi Rp500.000/ha itu - dibanding menanam padi lokal - diimbangi dengan produksi yang jauh lebih tinggi.

Sebanyak 15 ton gabah itu dijual ke pengepul dengan harga Rp1.800/liter. Itu artinya omzetnya mencapai Rp27-juta. Jika dikurangi dengan biaya produksi, keuntungannya mencapai Rp22-juta/ha. Nilai itu lebih tinggi dibandingkan pen-jualan panen padi inbrida. Dengan panen 7 ton/ha, keuntungan yang diperoleh hanya Rp10-juta.
Rumahmakan jepang

Lain lagi dengan Salamun di Dampit, Malang, Jawa Timur, awalnya ia sulit menjual beras hibrida. Padahal, hasil panennya membubung 6,5 ton lebih tinggi. Padi hibrida 12 ton, padi inbrida 5,5 ton/ha. Namun, 'Di sekitar Malang, masyarakat lebih suka beras pera dibandingkan beras pulen,' kata Salamun. Sementara padi hibrida intani 2 yang ditanamnya berkarakteristik pulen, otomastis kurang laku.

Untungnya, kerabat Salamun ada yang sedang mencari beras pulen untuk dipasok ke rumahmakan Jepang. Hingga satu tahun terakhir ia rutin memasok 3 rumah-makan jepang di Surabaya. Harganya pun jauh lebih tinggi Rp7.500; beras biasa Rp4.500/kg. Dengan begitu, omzetnya mencapai Rp90-juta. 'Padahal, biaya produksi menggiling gabah menjadi beras sama saja dengan gabah padi lokal, hanya Rp500/kg,' ujar Salamun.

Paijan di Desa Kurungrejo, Prambon, Nganjuk, Jawa Timur, juga mengeruk untung tinggi dari penanaman padi hibrida. Awal 2008, ia memulai mengolah tanah untuk ditanami padi hibrida intani 2 berkat saran kerabat. Setelah 111 hari menanam, hasil panennya 12,73 ton/ha.

Sebelumnya ia hanya memanen padi inbrida sebanyak 9 ton/ha. 'Padi hibrida memang menguntungkan: produksi lebih tinggi, panen lebih cepat, dan beras dijual lebih mahal,' kata Paijan. Meski begitu, menurut Paijan selama penanaman dan penggudangan mesti lebih hati-hati terhadap hama, terutama wereng cokelat.
Hama

Menurut Dr Satoto, pemulia tanaman di Balai Tanaman Padi, Sukamandi, Subang, Jawa Barat, cara mengatasi wereng dengan strategi pengelolaan hama dan penyakit terpadu. Antara lain: menggunakan varietas padi hibrida tahan hama atau penyakit, menggunakan bibit sehat, menerapkan pola tanam yang sesuai, rotasi tanaman seperti padi-kedelai/kacang hijau, pembersihan lapangan terhadap gulma yang biasanya dijadikan vektor hama dan sumber penyakit, pemupukan sesuai kebutuhan tanaman, penerapan irigasi berselang, menggunakan lampu perangkap untuk pengendalian ulat grayak, dan meningkatkan peran musuh alami seperti laba-laba.

Bila terjadi serangan penyakit kresek, maka sawah perlu didrainase agar tidak terjadi genangan air di petakan. Kelembapan tanah berkurang, sehingga jamur atau pun mikroorganisme penyebab penyakit tidak berkembang pesat.

Padi hibrida memang diutamakan untuk meningkatkan produktivitas. 'Padi hibrida yang diloloskan pemerintah, tingkat produktivitasnya minimal satu ton lebih tinggi daripada padi inbrida,' kata Satoto. Jadi, untuk ketahanan hama wereng tidak diutamakan. Ada 31 jenis padi hibrida yang telah diloloskan oleh pemerintah, antara lain hibrindo 1, hibrindo 2, intani 1, intani 2, miki 1, miki 2, miki 3, long ping pusaka 1, hibrida long ping pusaka 2, batang kampar, dan batang samo.

'Masing-masing varietas memiliki ciri yang berbeda,' kata Satoto. Miki 1, miki 2 dan miki 3 asal Jepang itu, memiliki potensi hasil 4,5 - 7 ton/ha dan agak tahan terhadap penyakit hawar daun. Yang paling utama tekstur nasinya pulen sehingga miki dikhususkan untuk nasi di restoran jepang. Terutama miki 2 yang mengandung kadar amilosa 19,7%.

Umur panen miki sekitar 95 - 102 hari kecuali miki 3 dipanen pada umur 83 - 107 hari. Sedangkan hipa 3 hasil rakitan Balitpa yang dikembangkan Syngenta dengan nama synddy memiliki karakteristik: tinggi tanaman 86 - 95 cm, kadar amilosa 24,7%, bobot 1.000 butir padi mencapai 23,5 - 25 g, dan agak tahan terhadap WBC, HDB strain IV dan VIII. 'Rata-rata potensi hasilnya 8,5 - 9 ton/ha.

Dengan tingginya produksi padi hibrida, banyak petani meraup untung besar. Keuntungan bakal berlipat jika harga benih lebih murah. Menurut Dr Satoto, mahalnya benih disebabkan produksi benih minim. Saat ini, rata-rata produksi benih berkualitas bagus hanya 1 ton/ha. Seandainya dapat ditingkatkan menjadi 2 ton/ha, otomatis harga benih bisa turun. Harga benih padi hibrida sekarang masih berkisar Rp40.000 - Rp50.000/kg. Hal itulah yang kini sedang diusahakan oleh para peneliti. (Vina Fitriani)

Tidak ada komentar: