Senin, 20 Oktober 2008

Sang Pembebas Sindrom Tentara

Dua tentara di medan laga tak mampu bangun setelah duduk dan meletakkan ransel dari punggung. Hasil pengecekan dokter, jumlah protein pada sumsum otaknya meningkat tanpa diimbangi peningkatan sel darah putih. Telapak tangan sulit dikepalkan. Itulah penyakit sindrom guillain-barre. Sebutan penyakit itu untuk menghargai dr Georges Charles Guillain dan dr Jean Alexandre Barre, dokter yang memeriksa si tentara ketika perang dunia pertama berkecamuk.

Penyakit seperti itulah yang diidap Abdul Kohar Zulkarnain. Usianya masih muda, 23 tahun, ketika tubuh Zulkarnain gampang lelah. Wajah dan tangan kanannya kesemutan. Kadang-kadang puluhan jarum seperti menusuk-nusuk sekujur tubuh. Kaki berat untuk melangkah. 'Saya sulit menaiki tangga. Padahal, kamar berada di lantai 2,' katanya. Tiga bulan setelah gejala itu muncul, pada Mei 2007, kaki dan tangan Zulkarnain lumpuh.

Orang tuanya bergegas memeriksakan sulung 2 bersaudara itu. Dokter melakukan tes dengkul dengan mengetukkan palu ke lutut kanan Zulkarnain. Hasilnya, tak ada refleks, sehingga kaki alumnus SMA Negeri 35 Jakarta itu dinyatakan lumpuh. Meski dokter menyarankan agar opname di rumahsakit, tetapi Zulkarnain menolak. Ia rutin mengkonsumsi obat-obatan yang diresepkan dokter untuk mempercepat kesembuhan.

Tiga hari pascakonsumsi obat-obatan itu, Zulkarnain justru mual dan muntah-muntah. Orangtuanya membawa kelahiran 4 Oktober 1983 itu ke Rumahsakit Gandaria, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di sana, ia menjalani pemeriksaan darah, lumbar puncture alias pengambilan air tulang belakang, dan elektromyogram.

Yang terakhir disebut untuk mengevaluasi kondisi saraf tepi motoris dan sensoris. Tujuannya agar jika ada kelainan otak dan saraf, segera terdeteksi. Hasil pemeriksaan menunjukkan, virus menjangkiti otak yang disebut sindrom guillain-barre (SGB).
Infeksi bakteri

Penyakit kelainan otak itu membuat Zulkarnain harus beristirahat total di rumah sakit. Meski Georges Charles Guillain dan dr Jean Alexandre Barre menemukan kunci diagnosis pada 1916, tetapi penyakit itu masih asing. Kunci diagnosis itu baru diketahui setelah 57 tahun penyakit itu ditemukan pertama kali oleh Jean Baptiste Octave Landry. SGB termasuk penyakit langka. Di Amerika hanya 1 orang pasien di antara 100.000 orang. Di Indonesia belum ada data prevalensi pasien.

Menurut dr Satya Hanura, SpS, ahli penyakit saraf di Rumahsakit Jakarta, SGB penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah dan kehilangan kepekaan. Kaum pria lebih rentan terserang penyakit yang mirip polio itu. Penyebab kerentanan kaum Adam masih menjadi misteri. Namun, yang pasti SGB bukan penyakit keturunan, tidak menular lewat kelahiran, terinfeksi atau terjangkit dari pasien. SGB bisa timbul sepekan atau dua minggu setelah infeksi bakteri Campylobacter jejuni di usus dan tenggorokan.

Gejala SGB berupa kelumpuhan anggota tubuh bagian bawah seperti tungkai kaki, merembet ke atas, hingga menyebabkan gangguan pernapasan dan penurunan kesadaran. Akibatnya, penderita mengalami baal atau mati rasa. Infeksi influenza, saluran pernapasan, dan diare kemudian terjadi. Begitu juga yang dialami Zulkarnain. Untuk mengatasi penyakit itu dokter memberi suntikan imunoglobulin sebanyak 30 kali.

Padahal, biaya sekali suntik Rp3,3-juta. Artinya, Zulkarnain harus menyediakan dana Rp100-juta hanya untuk biaya suntikan. Itu pun bukan jaminan sembuh. Pilihan lain, gamamune yang juga imunoglobulin seharga Rp4-juta-Rp4,5-juta per botol. Obat itu dimasukkan ke dalam tubuh melalui selang infus. Dosisnya tergantung bobot tubuh. Jika bobot tubuh 58 kg perlu 20 botol untuk terapi keseluruhan atau 5 botol sehari.

Karena tingginya biaya pengobatan, dr Dwicahyo SpS justru menyarankan pengobatan alternatif. Konsumsi susu kaya imunoglobulin secara rutin salah satu jalan alternatif itu. 'Efeknya sama,' kata dokter yang saat itu berpraktek di Rumahsakit Gandaria seperti diulangi Zulkarnain. Orangtua Zulkarnain, bergegas mencari kolostrum yang mengandung imunoglobulin. Hari itu juga, susu kolostrum dibawa ke RS Gandaria, Jakarta Selatan, untuk diperlihatkan kepada dokter.
Efek kolostrum

Setelah mengamati susu kolostrum, dokter Dwicahyo SpS mengizinkan Zulkarnain untuk mengkonsumsinya 4 kali sehari. Satu sachet kolostrum dilarutkan dalam segelas air, lalu diminum satu jam setelah mengkonsumsi obat dokter. Hasilnya cukup mengejutkan. Perubahan motorik yang ditandai dengan refleks lutut yang meningkat terhadap ketukan. Sepuluh hari rutin mengkonsumsi kolostrum, ia mampu berdiri dan mulai berjalan sendiri ke kamar mandi.

Padahal, sebelumnya ia menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Ia persis orang lumpuh saat itu. Oleh karena itu kemampuan berjalan kembali sangat luar biasa. Dokter juga mengatakan, itu perubahan besar. Sebab, penderita SGB yang dirawat secara intensif perlu waktu 3 bulan untuk mampu berjalan. Pada hari ke-17, Zulkarnain dinyatakan sehat dan diperbolehkan pulang. Ia meninggalkan rumahsakit dengan rasa gembira yang sangat.

Bukan hanya karena mampu berjalan, tapi juga terhindar dari suntikan imunoglobulin yang bakal menghabiskan uang Rp100-juta. Enam puluh kali minum susu kolostrum melenyapkan derita lumpuhnya. Untuk menjaga virusnya berkembang, Zulkarnain kini mengkonsumsi susu kolostrum 1 kali sehari. Dosisnya tetap sama: satu sachet dalam segelas air.

Mengapa kolostrum ampuh mengatasi SGB? Menurut Mira Nirmala, Herbalis Rumah Herbal, kolostrum kaya gizi yang membantu pemulihan suatu penyakit. Tak hanya dalam tubuh, tetapi juga bertanggung jawab atas kesehatan otak.

Hal itu senada dengan hasil penelitian Xiao Li Pan dari Oita Medical University School of Medicine, Jepang. Risetnya membuktikan gangliosida pada kolostrum meningkatkan perkembangan otak secara kognitif, pencegahan alergi, bersifat propilaktik menghadang berbagai racun dari bakteri.

Riset yang meneguhkan keampuhan kolostrum dilakukan oleh Jong Seok Bae dari Seoul Medical Center School of Medicine, Korea. Menurut Jong, pada pasien SGB, jaringan motorik yang seharusnya menghasilkan ganglionsida, justru salah baca dan membuat antiganglionsida. Senyawa itu menggempur jaringan motorik sehingga menyebabkan kerusakan dan kelemahan jaringan otak untuk memberi respon ke otot.

Seperti dilansir Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism, Insulinlike growthFactor pada kolostrum berperan sebagai neuroprotektor alias pelindung dan memperbaiki sel-sel saraf rusak. Oleh sebab itu, IgF berpotensi memperbaiki fungsi kognitif dan motorik pasien. Itu dibuktikan oleh Marta Bondanelli, dari bagian Endokrinologi University of Ferrara, Italia. Marta meriset pemberian IgF berdosis 161,8 ?g/dl atau lebih meningkatkan kemampuan fungsi kognitif dan motorik pasien pascaterapi. Itulah yang terjadi pada Zulkarnain. Penyakit 'warisan' tentara yang ia idap itu akhirnya teratasi. (Vina Fitriani).

Tidak ada komentar: