Minggu, 24 Agustus 2008

Pasar Swalayan di Rimba Kalimantan

Nama mereka tak lazim dan asing di telinga. Namun, fungsi mereka beragam: penangkal rontok rambut, pembersih kuku, dan pengganti shampoo. Bahkan ada yang tokcer sebagai racun ikan. Itulah kekayaan buah hutan.Hutan seluas 1 ha itu terlihat mencolok. Pohon setinggi 20―30 m yang bertajuk rapat saling menutupi. Pinggiran hutan rapat dipagari semak belukar dan pohon merambat menambah keremangan cahaya di lantai hutan. Kontras dengan hutan di sekeliling yang terbuka dan terang benderang. Itulah kawasan pekuburan Raja Dayak Kaharingan, leluhur Suku Dayak asli Barito Timur, Kalimantan Tengah. Sebuah sungai berair hitam melingkari hutan perawan itu.
Sebuah teriakan terdengar dari bibir Amik Hewu, pemandu tim eksplorasi Trubus di Kalimantan Tengah. “Jangan dulu masuk hutan. Basuh muka dan tangan dengan air hitam itu,” katanya. Rimba hutan Karanglangit itu memang tempat suci dan sarat aura mistis. Mencuci muka dan tangan menjadi ritual awal agar penguasa hutan tak murka.Setelah tangan dan wajah terasa segar oleh basuhan air sungai, jalan setapak ditelusuri menuju rumah si penjaga kawasan alias juru kunci. Dengan bahasa Dayak Kaharingan, Amik Hewu menceritakan tujuan masuk ke dalam kawasan pekuburan."Kami mencari durian leko yang berumur 232 tahun," kata Amik kepada sang kuncen. Izin diperoleh, tetapi masuk tanpa ditemani sang kuncen.
Begitu kaki memasuki kawasan pekuburan, suasana berubah total. Gelap total bagaikan pukul 09.00 malam. Padahal, jarum jam baru menunjukkan angka 10 di pagi hari. Tajuk mereka yang luar biasa rimbun membuat sinar matahari pagi tak berdaya menerobos masuk. Suasana gelap pekat itu masih ditambah lagi keangkerannya dengan pemandangan khas hutan hujan tropis alami, yakni rapatnya batang-batang pohon berdiameter 2―3 m.
Suasana sunyi sepi. Rambut di leher serasa berdiri ketika kompleks pekuburan mulai terjamah mata. Satu langkah demi langkah mesti diperhatikan. Sebab, pembatas makam yang berumur ratusan tahun itu kian tertutupi lumut dan serasah daun. Berkat tebasan golok ke pohon yang menutupi jalan, pohon durian leko berumur 232 tahun diperoleh. Sayang, tak ada buahnya. Keinginan mencicipi durian purba pun ditampikkan.
Namun, kekecewaan hilang begitu saja. Dari kejauhan, mata reporter Trubus Destika Cahyana mendapati benda yang terang di tengah kegelapan. Sepintas mirip tumpukan sesajen di atas gundukan tanah pekuburan. Namun, setelah didekati, bentuknya bulat seukuran bola kasti. Mirip buah bengkuang yang tergeletak di tanah. Sayang, Amik tak mengenali buah itu. Yang pasti buah itu tumbuh bergelombol dengan batang sekunder mulai batang atas hingga akar.
Sepulangnya, sang juru kunci yang ditanyai juga tak tahu nama buah. Ia hanya tahu buah itu idak dikonsumsi. Manfaat buah itu terungkap ketika anak sang kuncen tiba. Sang anak langsung mengambil buah dalam untaian dan mengupasnya. Setelah itu ia menggosok-gosokkan buah berwarna putih ke kuku tangannya.” Ini untuk membersihkan kuku,” katanya. Memang, setelah 10 menit menggosokkan buah bernama dimpahong itu, kuku lebih bersinar dan mengkilat.
Nun di Kalimantan Timur, penduduk Dayak Kenyah tak punya buah untuk membersihkan kuku agar terlihat lebih mengkilap. Namun, untuk masalah rambut, masyarakat sana tak membutuhkan sampo khusus. Cukup gunakan pengo untuk masalah ketombe. Buah berwarna merah pekat itu direbus, buah hasil rebusan digosok-gosokkan ke kepala. Rasanya memang agak perih jika kepala berketombe. Sebab, cairan pengo sangat asam. Menurut Abutiyus di Kampung Temula, Kecamatan Nyuatan, Kutai Barat Kalimantan Timur, cukup 2―3 kali olesan, ketombe langsung hilang.
Penghilang ketombe lainnya, lemenuq. Buah itu ditemukan ketika wartawan Trubus Imam Wiguna dan Sardi Duryatmo baru saja menelusuri jalan di daerah Nyuatan, Kalimantan Timur. Abutiyus menunjukkan buah lemenuq yang berada di ketinggian 30 meter. Sangat sulit Sardi menangkap buah berwarna kuning itu walau dengan bantuan kamera tele. Namun, Abutiyus kerap memanfaatkan lemenuq yang jatuh. Buah itu dibelah dan langsung dioles ke rambut. Lebih mudah dibandingkan pengo yang mesti direbus terlebih dahulu.
Warga Dayak Kenyah di Nyuatan juga mengandalkan munte jabuq sebagai penghilang bakteri di kepala. Walaupun buah munte jabuq mirip jeruk besar, tetapi tak ada orang yang mengkonsumsinya lantaran asam. Buah berwarna kuning dan kaya serat itu dibakar. Setelah 5 menit, munte jabuq dibelah dan diusapkan ke kepala. Setelah 3―4 kali pengusapan, ketombe bakal hilang.
Menurut Gregorius Garnadi Hambali, pakar botani di Bogor, fungsi menghilangkan ketombe lantaran buah-buahan endemik Kalimantan itu berasa sangat asam. Sifat-sifat asam bisa mengurangi aktivitas bakteri, terutama yang patogenik. Buah asam juga bersifat denaturasi, artinya sifat kimianya berubah, misalnya yang tadinya beracun jadi berkurang racunnya. Karena racun biasanya aktif pada pH netral. Kalau pHnya turun, racunnya bisa berkurang.
Selain antiketombe juga ditemukan antiborok alias penyakit kulit. Di Kalimantan Timur saat perjalanan menuju hutan Sentalar, Eko Suryanto Kerwili memperkenalkan tumbuhan obat klokop. Daunnya persis bunga kupu-kupu Bauhunea purpurea. Daun tumbuhan itu lazim dimanfaatkan untuk mengatasi luka bakar atau luka bekas gigitan serangga dan ular. Caranya dengan menggerus 5 lembar daun dan ditempelkan ke luka.
Sedangkan di Hayaping, Kalimantan Tengah, ditemukan pula nusa indah hutan. Menurut Anton, pengemudi yang mengantarkan perjalanan ke Hayaping, bunga nusa indah hutan berguna untuk mengobati borok. Hal itu berdasarkan pengalaman sepupunya yang menderita borok akibat terjatuh. Bolak-balik perawatan medis tak jua memberi kesembuhan. Obat-obatan dokter justeru berujung pada pembengkakan. Sepupu Anton akhirnya memilih pengobatan secara tradisional yaitu pengobatan Dayak. Oleh pengobat, Anton disuruh mencari bunga nusa indah hutan yang berbunga kuning dan memiliki 2 warna daun; putih dan hijau.
Untuk mengobati luka hanya menggunakan daun berwarna putih dan bunganya. Sebanyak 5 lembar daun digerus dan diberi air. Setelah itu ekstrak ditaburkan ke luka borok. Tak dinyana, luka borok yang telah bersarang selama 3 bulan mengempis dalam 2 hari. Efektivitas penggunaan nusa indah hutan sebagai obat bisul memang masih empiris. Namun, Anton yakin daun dan buah yang digunakan dalam pengobatan tradisional Dayak memang berkhasiat.
Hasil penelusuran Trubus, orang Dayak memang gemar mengandalkan kemurahan alam dalam kehidupan sehari-hari. Tak cuma dalam hal pengobatan, tapi juga dari menanam padi hingga membangun rumah. Semuanya masih alami.
Di kebun cempedak milik Plepius di tepi Sungai Setulang, Kalimantan Timur misalnya. Sardi Duryatmo dan Imam Wiguna mendapati sebuah pohon payang kayu Pangium edule, kerabat keluwak. Buahnya di ketinggian 5 meter. Setidaknya terdapat 5 buah seukuran 2 kepalan tangan berwarna cokelat. Cokelatnya mirip buah kenari.
Oleh suku Dayak Kenyah Malong buah itu acap dimanfaatkan sebagai terasi dengan cara fermentasi. Mula-mula kulit buah itu dikupas, lalu merendam buah selama sepekan untuk menghilangkan permukaan yang licin. Setelah itu buah direbus hingga mendidih selama 1 jam. Langkah berikut adalah memecahkan tempurung buah untuk mengambil daging buah berwarna cokelat.
Daging buah itu kembali direndam 24 jam untuk menghilangkan pahit. Kemudian direbus kembali 5 menit dalam air mendidih. Selama perebusan aduk beberapa saat. Bajin kemudian meletakkan hasil rebusan dalam wadah tertentu yang dilapisi daun kalle semacam daun pisang yang ulet. Lalu memeram 2―9 hari. Hasilperaman lalu dipanggang di anyaman bambu beralas daun kalle. Nah, hasil panggangan itulah yang berfungsi mirip terasi. Sayang, saat itu buah payang belum musim sehingga warga Setulang absen membikin asam payang.
Sedangkan untuk urusan bangunan rumah, Bajin menggunakan panglaran alias kruing. Pohon itu berguna sebagai atap sirap meskipun hanya tahan 3 tahun. Sedangkan dindingnya menggunakan kayu meranti atau ayi dalam bahasa setempat dan ulin. Getah pohon meranti Shorea sp dimanfaatkan sebagai lem atau dempul untuk merekatkan 2 papan dalam pembuatan rumah.
Di Kalimantan Tengah, masyarakat Dayak Maanyan menggunakan kayu jingah alias rengas (Gluta renghas Linn). Padahal, kayu itu terkenal sebagai penyebab gatal. Menurut K Heyne dalam buku Tumbuhan Berguna Indonesia, anggota famili Anarcadiaceae itu getahnya sangat beracun, menyebabkan iritasi berat pada kulit dan dapat melumpuhkan orang. “Bahkan orang yang berdiri di dekatnya sekalipun bakal merasa gatal,” kata Amik.
Namun, kayunya terbilang rapat dan kuat. Itu sebabnya kayu jingah banyak dipakai untuk pembangunan rumah panggung khas orang Dayak. Hanya saja, pelu diberi perlakuan khusus. Menurut Amik, masyarakat Dayak Maanyan yang tinggal dekat pohon jingah biasanya sudah tidak peka terhadap rasa gatal yang ditimbulkan jingah. Jika sudah begitu, mereka mudah menebang pohonnya. Sebelum dijadikan dinding rumah atau alat rumah tangga, kayu dikeringkan dengan cara didiamkan selama 1 minggu. Setelah itu dipernis dengan alkohol berulang-ulang. Dengan begitu, rasa gatal jingah langsung enyah.
Buah yang juga istimewa ialah kemenai. Ia unik karena biasa dipakai sebagai racun ikan. Kemenai Croton trigium yang ditemukan di Temula, Kalimantan timur itu mengandung sianida dan saponin. Sianida menyesakkan napas ikan dan kemudian mematikannya. Sedangkan saponin, alkaloid alami yang berguna sebagai obat bagi tubuh. Itu sebabnya kemenai menjadi obat disentri alias berak darah. Caranya buah ditumbuh dan direbus, setelah itu diminum 3 kali sehari.
Kekayaan alam Kalimantan lain yang dijadikan obat adalah Patma. Dian Adijaya Susanto dan Andretha Helmina, reporter Trubus, menemukannya ketika istirahat di sebuah rumah makan di Balaikarangan, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Patma yang berwarna cokelat kehitaman itu lazim digunakan ibu-ibu yang baru saja melahirkan. Gunanya untuk merapatkan kembali vagina. Caranya dengan merebus umbi berukuran bola kasti itu berulang-ulang hingga warna air rebusannya jernih. Biasanya dikonsumsi 2―3 buah hingga masa nifas selesai.
“Itu untuk patma yang kecil, sedangkan yang besar digunakan pria,” kata Sri Lestari, pemilik warung makan. Patma yang besar digunakan kaum adam untuk menjaga kesehatan dan keperkasaan. Cara pengolahannya sama, direbus dan diminum. Dipakai berulang-ulang hingga jernih. Untuk memperoleh patma yang merupakan umbi tumbuhan Rafflesia tidak mudah. Sri Lestari mesti mengambilnya dengan menelusuri pegunungan di perbatasan Malaysia. Di sana patma yang tadinya tak bernilai menjadi komoditas ekonomis, 1 buah dibandrol Rp20.000.
Itulah kekayaan buah hutan Kalimantan. Meski asing dan tak lazim, ia bagaikan pasar swalayan bagi penduduk yang tinggal di sekitar.

Tidak ada komentar: