Selasa, 26 Agustus 2008

Bahan Bakar dari Sampah



Rumah seluas 100 m2 di Kelapadua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, itu terang benderang di malam kelam. Enam buah lampu 25 watt dan TV 21 inci, tetap menyala seperti biasanya. Padahal, lingkungan sekitar gelap gulita akibat pemadaman listrik. Rahasianya? “Saya mengolah kotoran sapi menjadi listrik,” kata Wiyanto, sang pemilik rumah. Itu sebabnya, aliran listrik rumahnya tak terputus.
Selain menghasilkan energi listrik, kotoran sapi itu sumber gas untuk kompor. “Sehari-hari juga digunakan untuk memasak minimal enam jam,” kata pria kelahiran 53 tahun silam. Biasanya Wiyanto menghabiskan 2 liter minyak setiap hari. Dengan begitu, ia menghemat biaya minimal Rp15.000/hari. Sebab, harga minyak tanah di sekitar rumahnya Rp7.500/liter lantaran langka. Kotoran sapi diperolehnya dari sapi perah milik sendiri yang berada di halaman rumah. Jumlah sapinya 9 ekor, 4 ekor berumur 15 tahun, sisanya anakan umur 4 tahun.
Untuk menghasilkan listrik dan gas dari kotoran sapi cukup mudah. Ayah dua anak itu hanya butuh tangki penampung kotoran, bak penampung kotoran berlebih, genset, katup penghasil pengatur aliran listrik, dan kompor gas. Setiap pagi dan sore kandang dibersihkan dengan air. Air itu kemudian dialirkan ke tangki penampungan kotoran yang berjarak 2 m dari depan kandang. Penampung itu terbuat dari plastik polietilen berukuran 5 m3 setara 5.000 liter. Penampung itu dibenamkan ke dalam tanah agar suhunya tetap stabil. Kotoran sapi didiamkan selama 1 minggu sehingga terjadi proses fermentasi dengan bantuan bakteri anaerob.
Gas metan
Selama fermentasi terjadi beberapa tahap penguraian bahan organik. Tahap awal dimulai dengan hidrolisis. Pada fase itu molekul komplek pada kotoran sapi diurai menjadi bentuk lebih sederhana. Pendederan bahan organik itu diakhiri dengan proses metagenesis yang menghasilkan gas berupa metan. Hasil sampingan berupa karbondioksida, air, dan sejumlah senyawa gas lain. Menurut Andreas Wiji, pengusaha biogas di Cikole, Bandung, dalam satu kali proses biogas alam diperoleh 55―56% gas metan, 30―35% CO2, dan 2% O2.
“Gas metan yang dihasilkan merambat ke lapisan atas tangki penampung,” kata Wiyanto. Tingginya hanya 0,5 m, tepat di bagian atas penampung. Oleh karena itu, pengisian kotoran tak boleh penuh. Di bagian atas tangki terdapat terowongan penyalur kotoran ke bak penampungan. Bak penampungan itu terbuat dari semen berukuran 2 m x 1 m x 1 m.
Biogas yang dihasilkan dialirkan ke genset melalui pipa ke katup yang berfungsi mengatur pemasukan biogas. Mesin genset akan bergerak jika minimal terdapat gas metan sebanyak 0,64―1 m3. Gas itulah yang diubah menjadi listrik dan juga energi panas untuk bahan bakar kompor. Hasil riset Balai Penelitian Pengembangan Teknologi Sapi Perah, Bandung, 2 sapi yang menghasilkan 45,5 kg kotoran memproduksi energi listrik untuk 4 lampu berkekuatan 75 watt selama 6 jam. Jika hanya digunakan untuk memasak, 2 sapi yang menghasilkan 1.800 liter gas metan, cukup untuk memasak bagi 5 anggota keluarga. Kelebihan bahan bakar biogas untuk memasak ialah menghasilkan nyala biru dan panas yang sama dengan LPG, tidak beracun, tidak berbau, serta tidak menimbulkan jelaga.

Limbah tapioka
Penghematan energi listrik maupun fosil dengan memanfaatkan limbah secara besar-besaran dilakukan Budi Acid Jaya Tbk di Way Abung, Lampung. Produsen tepung tapioka terbesar di Indonesia itu melakukan penghematan biaya produksi sebesar Rp18,2-miliar/tahun. Pabrik yang memproses 800 ton singkong/hari itu mengolah 2.800 m3 limbah/hari untuk menghasilkan energi listrik sebesar 2,2 megawatt.
Sebelumnya, limbah hasil proses produksi tepung tapioka itu hanya diolah dengan mengendapkannya di kolam-kolam agar kandungan chemical oxygen demand COD berkurang. “Butuh banyak kolam yang besar-besar untuk menampung limbah itu,” kata Ir Sudarmo Tasmin, wakil presiden PT Budi Acid Jaya Tbk. Oleh sebab itu, pengolahan limbah menyita lahan lebih luas dibandingkan pabriknya sendiri. Selain itu kolam-kolam itu mengeluarkan gas metan cukup tinggi lantaran tidak tertutup.
Seiring peningkatan harga solar dan tarif dasar listrik, Budi Acid Jaya melakukan inovasi berupa pendirian instalasi biogas berbahan limbah tapioka. “Itu juga sejalan dengan komitmen perusahaan terhadap Protokol Kyoto untuk mereduksi limbah methan,” kata Sudarmo. Awal 2007 silam, instalasi pengolahan limbah mulai beroperasi dengan investasi pendirian mencapai US$1-juta.
Ternyata, pengolahan limbah itu tak cuma menghasilkan listrik untuk menjalani seluruh produksi. Budi Acid Jaya juga memperoleh tambahan pendapatan melalui penjualan CER certified emission reduction ke salah satu perusahaan di Jepang. CER merupakan sertifikat yang dikeluarkan oleh PBB untuk perusahaan yang berhasil menurunkan jumlah emisi dan limbah. Sertifikat itu kemudian diperjualbelikan ke perusahaan-perusahaan yang memiliki kewajiban menurunkan emisi limbahnya sesuai perjanjian Kyoto. Jumlah emisi yang berhasil diturunkan Budi Acid Jaya mencapai 230.000 CERs. Sebanyak 140.000 CERs terjual dengan harga US$1,7-juta. Itu sebagai pemasukan tambahan karena mengolah limbah.

Limbah ikan
Bahan bioenergi berbasis limbah lain yang potensial dikembangkan adalah limbah ikan. Ir Kristio Budiasmoro MSi, peneliti Universitas Sanata Darma (USD), Yogyakarta, membuktikan limbah ikan potensial sebagai bahan bakar. Yang dimaksud limbah ikan adalah ikan busuk, jeroan atau organ dalam ikan, dan tulang ikan. Volume limbah pengalengan ikan di Muncar, Bayuwangi, Jawa Timur, itu mencapai 50―60 ton per bulan. Perusahaan farmasi dan makanan memang menyuling limbah itu menjadi senyawa aktif omega 3. “Namun, jumlahnya masih tetap melimpah,” kata Kristio.
Menurut kepala Pusat Studi Lingkungan Universitas Sanata Darma itu limbah ikan kaya minyak. Ia memotong-motong limbah itu dan memanaskan hingga terbentuk minyak. Alumnus Universitas Gadjah Mada itu memanaskan kembali minyak ikan itu pada suhu 60oC. Lantas, ia menambahkan pelarut semipolar dan campuran asam kuat asam sulfat dan air aki hingga diperoleh bilangan asam 3 mg KOH/g minyak. “Rendemen biodiesel mencapai 68% dari limbah ikan,” kata Kristio. Itu artinya untuk 1 liter minyak bakar hanya dibutuhkan 1,6 kg limbah ikan.
Agus Unggul ST dari Fakultas Sains dan Teknologi di USD menguji daya bakar minyak limbah ikan. Hasilnya, nilai panas minyak ikan lebih tinggi dibandingkan minyak bakar fosil, tetapi di bawah minyak tanah. Nilai panas minyak ikan 9.270 kal/g; minyak bakar fosil 8.760 kal/g; dan minyak tanah 11.000 kal/g. Kandungan air minyak limbah ikan lebih tinggi dibanding minyak tanah 10,4% : 2,5%.
Biaya untuk menghasilkan 1 liter minyak limbah ikan Rp2.167―Rp3.500. Kristio memang baru membuatnya dalam skala laboratorium. Namun, dengan cara yang sama, Saint Peter's, pabrik pengolah ikan di Amerika Serikat mampu memanfaatkan limbahnya untuk menggerakkan 10 truk dan 8 bus angkutan bagi 1.500 karyawannya setiap hari. Pabrik itu menghasilkan 1.135.000 liter biodiesel per tahun dari kepala, kulit, dan organ 25-juta kg ikan.


Briket sampah
Energi yang paling mudah diciptakan adalah briket sampah. Bahan bakunya hanya sampah organik seperti kayu-kayu sisa, daun-daun kering, makanan sisa, dan kertas. Cara pembuatannya mirip seperti pembuatan arang. Bahan-bahan itu dibakar sampai berbentuk arang berwarna hitam pekat. Saat bara api merata ke seluruh bagian bahan, segera disiram air. Hasil berupa arang itu ditumbuk menggunakan alat penumbuk atau martil. Kemudian tambahkan daun-daun tanaman segar yang lunak dan tinggi kandungan air.
Daun-daunan itu dapat diambil dari sisa-sisa sampah pasar atau sayuran seperti bayam, kangkung, atau sawi yang sudah terbuang. Persentase komposisi bahan pembuatan briket organik adalah 80% arang sampah organik kering dan 20% campuran daun segar. Jadi, bila dicampurkan 800 g sampah organik butuh 200 g daun segar. Setelah tercampur rata, adonan dicetak dengan ukuran dan bentuk sebagai briket. Briket itu dijemur di bawah sinar matahari sampai kering. Tanda-tanda briket sudah kering dengan cara meletakkan dan mengangkatnya di telapak tangan. Briket kering terasa ringan dan jelaga di permukaan tidak terlalu mengotori permukaan telapak tangan.
Langkah-langkah itu dilakukan oleh warga Kampung Panoram, Purwakarta, Jawa Barat, guna membuat bahan bakar kompor untuk memasak. Dengan begitu, mereka tak perlu waswas menunggu kedatangan mobil pengangkut minyak tanah dan berdiri dalam antrean yang mengular panjang.

Tidak ada komentar: