Jumat, 05 Juni 2009

Laba di Balik Kelamnya Arang

Cornelius Triyanto benar-benar kewalahan. Industri arang Jepang mengorder arang bambu 8 kontainer sebulan. Awalnya ia tak sanggup. “Sulit menemukannya, banyak yang bilang ini barang langka,” kata eksportir sapu ijuk itu. Setelah 6 bulan berkeliling Jawa, barang itu akhirnya diperoleh tapi hanya ajek 2 kontainer atau 18 ton/bulan. Namun, bagi Triyanto itu cukup menguntungkan lantaran harga beli dari produsen di Pekalongan, Jawa Tengah hanya US$ 1,4/kg dan harga jualnya mencapai US$ 2,4/kg. Itu berarti sebulan ia mengantongi untung Rp165.600.000.

“Untungnya bakal berlipat jika mampu memasok keseluruhan permintaan,” kata Triyanto. Itu sebabnya, pria kelahiran Solo, Jawa Tengah masih mencari pasokan ke berbagai sentra penanaman bambu agar bisa memproduksi arang sendiri. Sebab, beberapa produsen arang bambu tidak memenuhi kriteria. Arang yang diminta oleh impotir Jepang memiliki kadar kelembaban maksimal 0,3%. Sebab arang bambu itu digunakan sebagai hiasan sekaligus penyerap uap ruangan berfungsi menghilangkan bau yang tidak diinginkan.
Jenis-jenis bambu yang dapat diarangkan beragam antara lain bambu betung, ater, tali, dan bambu andong Cara produksinya pun sangat mudah. Dengan metode timbun, bambu dibakar selama 24 jam pada kedalaman tanah 30 cm lantas didiamkan selama satu hari untuk pendinginan “Banyak produsen yang ingin cepat mendapat uang, jadi tak mau menunggu pendinginan,” kata Triyanto. Lantaran disiram air, kelembaban arang bambu lebih dari 5%. Jika sudah begitu, daya serap arang tidak lagi berfungsi, importir pun menolak.

Batok kelapa
Agus, produsen arang batok kelapa di Ujungberung, Bandung, Jawa Barat juga menangguk permintaan besar. Pabrik pengolahan minyak goreng kelapa sawit di Pekanbaru, Riau meminta pasokan arang halus (granule) sebanyak 200 ton perbulan. Itu belum termasuk permintaan eksportir yang pernah datang kepadanya, 2.000 ton perbulan. Kini Agus hanya memasok 3—5 ton per bulan untuk pabrik-pabrik pengolahan air di sekitar Bandung, Jawa Barat. Dengan harga Rp2.000 per kg, omzetnya mencapai Rp10-juta per bulan. Karena biaya produksinya cuma Rp1.200 per kg sehingga laba bersih yang ditangguk Rp4-juta sebulan.
Agus memulai bisnis arang terinspirasi kinerja mesin air minum isi ulang. Lantaran penasaran ia membukanya, tenyata mesin filternya terdiri dari karbon aktif, pasir aktif, dan zeolit. Sesegera ia mencari tahu asal arang aktif. Koleganya mengatakan arang aktif terbuat dari batok kelapa dan memiliki harga tinggi. Saat Agus bertanya ke salahsatu pabrik arang aktif, perusahaan itu justru menantangnya memasok 10 ton arang per bulan. Agus pun tergugah dan membuka pabrik arang batok kelapa pada Januari 2006 untuk membuat briket dan juga butiran arang atau granul.
Produksi awalnya sebesar 5 kwintal kemudian permintaan meningkat menjadi 3—5 ton. Pasokan bahan baku diperoleh dari produsen arang di Bandung, Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut. Bahan baku berupa arang batok kelapa itu harus kering dan bersih dari debu, jika tidak mesin cepat rusak dan penyaringnya hancur. Rendemen granuk yang diperoleh hanya 20% dari berat tempurung. Granul yang diproduksi tergantung permintaan, biasanya 4 mm, 3 mm, 2 mm, dan 1mm.

Arang aktif
Menurut Agus, jika mampu memasok dalam bentuk arang aktif untungnya berlipat. Sebab, harga pasaran arang aktif 5 kali lipat dibandingkan arang granular yang saat ini diproduksinya. Sayang, produksinya butuh modal besar. Aktivasi arang menggunakan proses mirip arang, dilakukan dengan dua cara: proses kimia atau proses fisika. Pada proses kimia, bahan baku dicampur bahan kimia tertentu dan dibentuk. Setelah itu dipanaskan pada suhu 100°C. Setelah dicuci air harus dikeringkan lagi pada suhu 300°C. Sedangkan pada proses fisika, bahan baku dibuat menjadi arang kemudian digiling, diayak dan dipanaskan kembali pada suhu 1.000°C yang disertai pengaliran uap. Itu berarti Agus membutuhkan mesin pembakar tambahan.
Yang memproduksi arang aktif adalah Daniel di Bandung. Mantan kontraktor air itu memasok arang aktif asal batok kelapa ke perusahaan minyak negara sebagai penyerap kotoran-kotoran yang pada limbah minyak. Akhir Januari lalu ia memasok 40 ton seharga Rp7.000/kg. Itu berarti ia memperoleh omzet Rp280-juta. “Biaya produksinya hanya Rp2.000,00,” kata Daniel. Makanya dari satu kali memasok ia sudah meraup untung Rp200-juta. Untung itu tak serta merta diperolehnya. Modal yang digelontorkan untuk membangun pabrik arang aktif itu lebih dari Rp500-juta terbagi untuk mesin-mesin, pembangunan laboratorium, serta riset.
Penelitian yang dilakukan alumnus teknik sipil Institut Teknologi Bandung itu efektif
Menaikkan rendemen dan mempercepat produksi. “Biasanya pabrik lain butuh waktu 12 jam dengan rendemen 20%, produksi saya bisa mencapai 2—5 jam dengan rendemen 30%, kata Daniel. Indikator utama penyerapannya pun tetap berkualitas bagus, sebesar 1.000 mlgr/gr. Makanya biaya produksi menjadi murah.
Labanya memang menggiurkan. Namun, tak semua produsen mencecap untung yang sama seperti Triyanto, Agus, dan Daniel. Wira Gustria misalnya. Produsen arang di Sidoarjo, Surabaya itu merugi lantaran biaya produksi tak sebanding dengan harga jual. Dalam produksi, 4 kg tempurung hanya menghasilkan 1 kg arang. Jika harga tempurung Rp250 per kg berarti bahan baku saja Rp1.000. Padahal arang hanya berharga Rp1.250. dengan biaya transportasi dan biaya pekerja nilai itu impas. “Jika harus bersaing dipasaran. Juga tidak masuk,” kata pria kelahiran Padang, Sumatera Barat itu. Sebab, harga arang untuk pembakaran sate harganya Rp300—Rp400/kg.
Ia pernah menjajaki pasar besar untuk memasok 20 ton ke sebuah perusahaan pengolahan arang aktif di Jakarta. Namun, harga belinya sangat rendah, hanya Rp1.100. Itu hanya selisih Rp200 dari harga produksi arangnya yang di Jombang dan Probolinggo. “Nilai itu bahkan tak cukup untuk membayar transportasi dan pekerja,” kata Agus. Oleh karena itu Wira hanya sanggup memproduksi arang batok kelapa selama 3 bulan sebelum akhirnya beralih ke arang kayu. “Arang kayu berharga lebih mahal, Rp1.350/kg sedangkan biaya produksinya Rp700—Rp900/kg,” kata Wira.
Namun bukan berarti ia mendapatkan untung besar. Awal mula bermain arang kayu, ia memasok sebuah perusahaan obat nyamuk bakar tetapi pembayarannya tersendat, padahal bahan baku harus segera dilunasi. Lain lagi dengan kawan Wira, Wowor Hanjanu yang rutin mengirim arang asam 40 ton per bulan dari 1997—2003 ke California, tiba-tiba saja dihentikan lantaran pembeli langsung bertransaksi dengan pemasoknya.

Pasar luas
“Sebenarnya banyak negara yang membutuhkan arang dari Indonesia,” kata Jhonny W Utama, Direktur PT Dian Niaga yang telah mengekspor briket arang ke Eropa dan jepang selama 20 tahun. Permintaan dari Jepang yang diterimanya mencapai 10.000 kg yang harus dipasok setiap bulan. Sayang, kulaitas arang Indonesia semakin menurun. Parameter kualitas arang sebesar 7,000 kalori tidak lagi dicapai. Itu sebabnya, Dian Niaga tak lagi tergantung pada pasokan pabrik tetapi mem produksi arang sendiri di Pontianak, Kalimantan Barat.
Lantaran mampu menjaga mutu, pasokan arangnya terus meningkat. Pada 2005 ia mengirim 1—2 kontainera secar kontinyu per bulan. Kemudian meningkat 4—5 kontainer di 2006. Namun ekspor tertinggi terjadi pada 2002, sebanyak 7—8 kontainer. “Turun nilai ekspor karena isu sapi gila dan flu burung, jadi orang luar negeri takut membakar dagingnya, kata Alumnus Universitas Parahyangan, Bandung itu.
Namun Jhonny yakin permintaan arang di pasar dunia pada tahun-tahun mendatang semakin meningkat. Itu terbukti dengan ramalan kebutuhan arang di Eropa, baik untuk pembakaran atau industri arang aktif mencapai 200,000 ton per tahun. Indonesia sebagai penghasil utama arang batok bakal kebanjiran order, tentu saja kualitasnya harus baik. Jika tidak Filipina, Thailand, Srilanka, dan Vietnam sudah siap menampung kekurangan.

1 komentar:

kodir mengatakan...

kami mau tanya pak.
pabrik arangnya dimana dan kalau perusahaan pembuat mesin arang itu juga dimana ?
kami rencananya mau membuat.


mohon bisa dikomfirmasi ke alamat dibawah email dibawah ini.
creata@ipb.ac.id

terimakasih.

Abdul Kodir