Jumat, 05 Juni 2009

Ketika Kendaraan Bergantung pada Tumbuhan

Opel Blazer perak itu berbelok ke sebuah stasiun pengisian bahan bakar. Hanya 20 liter bensin—dari total kapasitas 80 liter—yang masuk ke tangki mobil bikinan Amerika Serikat itu. Dr Agus Eko Tjahjono—pengendara mobil itu—lantas menambahkan 1,5 liter etanol asal singkong. Lantas 10 liter bensin dikucurkan kembali. Sebelum penutup tangki dikunci, 1,5 liter etanol kembali dimasukkan. ”Agar mudah tercampur,” kata Kepala Balai Penelitian Teknologi Pati, Lampung itu.

Pria 50 tahun itu memang senantiasa membawa 1—2 jerikan bioetanol berisi 10 liter di dalam mobilnya. Mobil yang didapatkannya 4 tahun silam itu melaju seperti sediakala. Setiap hari mobil itu dikendarai oleh Agus Eko dari rumahnya di Tanjungkarang, Lampung, ke kantornya di B2TE, Suluban, Lampung itu berjarak 80 km. Dalam satu hari, mobil itu mengkonsumsi 17 liter premium dan 3 liter bioetanol sejak 2004. Menurut catatan doktor Teknik Kimia alumnus Hiroshima University, Jepang, itu nya Opel berbahan bioetanol singkong itu telah menempuh perjalanan 95.000 km. Sebab, ayah 2 anak itu juga selalu membawa mobilnya untuk perjalanan ke kantornya yang lain di BPPT, Jakarta.
Yang juga memanfaatkan gasohol, campuran bensin dan bioetanol adalah warga di Malang, Jawa Timur. SPBU berada di Jl Mayjen Wiyono, Rampal, Malang, Jawa Timur adalah satu-satunya SPBU yang menjual biopremium. Campuran 5% bioetanol dan 95% premium itu diminati oleh masyarakat, terlihat dengan konsumen biopremium lebih banyak dibandingkan konsumen premium. Perbandingannya mencapai 1:5. Padahal harga jual bioetanol sama dengan premium.
Awal pembukaan 13 Agustus 2006, 11.000 liter gasohol dijual pada 5.500 motor. ”Kapasitas kami masih terbatas,” kata Suwandi, kepala pengawas SPBU itu. Oleh karena itu, penjualan masih terbatas pada kendaraan beroda dua. Namun, akhir November 2006 terjadi kenaikan penjualan hingga 14 ton liter gasohol/hari. Seorang konsumen yang diwawancarai Trubus menyebutkan penggunaan premium lebih memuaskan lantaran 10% lebih irit dan pembakarannya lebih sempurna lantaran mesin terasa lebih ringan.
Kini mobil beroda empat mulai menyesuaikan diri dengan keberadaan bioetanol. Tiga buah sedan Ford Focus yang terparkir di depan Kantor Kementrian Riset dan Teknologi di bilangan Jalan Thamrin, Jakarta menandai aplikasi bioetanol pada mobil pada 24 Agustus 2006. Tangkinya diisi penuh bahan bakar gasohol E-20, campuran 20 persen etanol asal singkong dan 80 persen bensin. Ford jenis itu didisain mampu dijalankan dengan bioetanol 20 persen. Sedangkan Ford Ranger dan Ford Everest teruji menggunakan bahan bakar bioetanol hingga 5 persen tanpa modifikasi mesin.
Lebih hemat
Uji coba pengaruh etanol terhadap daya dan torsi pada mesin statis dan dinamis dilakukan laboratorium Balai Termodinamika, Motor, dan Propulsi (TMP) BPPT, Tangerang. Hasil akhir menunjukkan etanol 10 persen identik atau cenderung lebih baik ketimbang pertamax. ”Emisi CO (karbon monoksida) dan HC (hidrokarbon) mobil yang menggunakan E10 lebih rendah dibandingkan dengan premium maupun pertamax,” ujar Prawoto-peneliti dari Balai TMP, BPPT. Emisi CO pada E10 hanya 0,31 gram/km, sedangkan premium dan pertamax masing-masing 0,5 gram/km dan 0,58 gram/km. Karbonmonoksida berlebih pada manusia dapat mengikat hemoglobin dalam darah sehingga mengganggu konsentrasi dan muncul rasa pusing.
Total hidrokarbon yang memicu bahaya gangguan kecerdasan, kesehatan reproduksi, dan gejala sakit, pada etanol hanya 0,33 gr/km sedangkan premium mencapai 0,38 gr/km dan pertamax 0,40 gr/km. Sayang, penurunan jumlah emisi CO tidak dibarengi oleh penurunan nilai nitrogen oksida (NOx). Untunglah nilainya masih berada di bawah ambang batas. Buangan nitrogen oksida, pemicu pemanasan global, pada bioetanol lebih tinggi 2.04 gr/km, pertamax 2,00 gr/km sedangkan pemium 1,28 gr/km. Nilai parameter itu didapat jika bioetanol yang digunakan murni 99%. Jika tidak, efek negatif timbulnya karat pada tangki terjadi bila menggunakan etanol yang masih mengandung 5% air.
Etanol absolut memiliki angka oktan (ON) 117, sedangkan Premium hanya 87-88. sedangkan campuran bensin dan 10% etanol atau Gasohol E-10 memiliki ON 92 setara Pertamax. Nilai itulah yang membuat bioetanol terkenal sebagai octan enhancer atau booster (aditif) paling ramah lingkungan. Itu sebabnya yang menggeser penggunaan Tetra Ethyl Lead (TEL) maupun Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE). Kedua aditif itu dipilih menggantikan timbal pada bensin. "Bioetanol dapat langsung dicampur dengan bensin pada berbagai komposisi sehingga untuk meningkatkan efisiensi dan emisi gas buang yang lebih ramah lingkungan," kata Agus. Penggunaan bioetanol meningkatkan kualitas udara dan ketahanan energi nasional.
Dari segi kinerja, gasohol E10 tak kalah dengan bahan baku fosil. Power yang dihasilkan jauh diatas premium, E10 41,23 kW sedangkan premium hanya 30,97 kW. Daya tarikannya mesin berbahan bakar gasohol E10 25% lebih tinggi yaitu sebesar 1856,1 N dan premium 1393,8 N. dinilai dari laju konsumsi/jam, gasohol E10 hanya 30,39 liter; premium 31,03 liter. Penyebabnya, etanol mengandung 35 persen oksigen sehingga meningkatkan efisiensi pembakaran.
Cadangan menipis
Pemanfaatan bioetanol sebagai bahan bakar atau campuran tak dapat ditawar-tawar lagi. Maklum konsumsi premium Indonesia terus melambung. Celakanya premium itu tak lagi sepenuhnya ditambang di dalam negeri, tetapi harus diimpor. Konsumsi premium 2001 mencapai 14,60 miliar liter dengan jumlah impor 2,42 miliar liter. Dari tahun ke tahun konsumsi bensin kian melambung. Pada 2003 konsumsinya mencapai 12,34 miliar liter, dan 2004, 15 miliar liter. Dari data penjualan Pertamina, konsumsi premium Indonesia pada 2005 mencapai 17,47 miliar liter.
Padahal pada 2005, seperlima dari total kebutuhan premium Indonesia diimpor; jumlahnya mencapai 3,5 milyar liter. Di tengah harga minyak yang terus melonjak, harga jual premium masih bergantung pada subsidi pemerintah. Biaya produksi sebenarnya Rp6.300, nilai subsidi Rp1.800.
Para ahli memperkirakan cadangan minyak bumi kita hanya cukup untuk 10 tahun ke depan. Padahal, kebutuhan premium pada 2010 mencapai 22 milyar liter. Itu sebabnya, ”Perlu sumber energi pengganti atau aditif yang bisa diperbaharui agar ketergantungan terhadap bahan bakar fosil bisa hilang,” ujar Agus Siswanto, ketua Asosiasi Spiritus dan Etanol Indonesia. Skenario Pusat Pengkajian Konversi dan Konservasi Energi BPPT, pada 2010 nanti, 200 juta liter bensin digantikan dengan gasohol dan meningkat pada 2015 dan 2020 masing-masing 600 juta liter dan 1,1 miliar liter.
Memproduksi etanol dari bahan nabati bukan barang baru bagi industri di Indonesia. Produksi bioetanol berdasarkan data Departemen Perindustrian dan Perdagangan pada tahun 2002 telah mencapai 180 juta liter. Itu diperoleh dari empat pabrik di Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, antara lain PT Aneka Kimia Nusantara 18,5 juta liter/tahun, PT Indo Acidatama 78.0/tahun, PT Indo Lampung Distillery 50.0/tahun, PT Molindo Raya 24.0/tahun, dan PTPN XI 4.0 juta liter/tahun. Sayang, spesifikasi yang dihasilkan masih sebatas technical grade, belum mencapai fuel grade untuk bahan bakar. Makanya, hampir seluruhnya masih digunakan sebagai bahan baku industri asam asetat, selulosa, pengolahan rumput laut, minuman alkohol, cat, farmasi, dan kosmetik untuk konsumsi ekspor.
”Kami masih menunggu standar SNI etanol yang akan dipakai di Indonesia,” kata Donny Winarno, Vice President Sales-Marketing PT Molindo Raya Industrial. Sejak 13 Agustus 2006, Molindo telah memasok SPBU Pertamina di Malang dengan 1 pompa khusus Bio-Premium E5. Saat ini penjualannya masih berkisar 14 ton liter/hari. Namun, pada 2007 nanti dipastikan pemasokan mencapai 8-juta—10-juta liter per tahun. Pengembangan volume produksi dilakukan dengan penambahan pabrik sehingga total kapasitas sebesar 100 juta liter/tahun.
Selain peningkatan bahan baku tetes dan nira tebu sebanyak 190.000 ton, pengembangan bahan baku singkong mulai dilakukan dengan bermitra bersama petani menggarap lahan 5000 ha di Lampung Timur dan 20.000 ha di Pacitan, Jawa Timur.
Tak hanya Molindo yang berniat untuk mengembangkan biofuel di Indonesia. “ada 5 perusahaan yang berniat menggarap etanol dari singkong,” kata Deputi Teknologi dan Agro Industri Kementerian Riset dan Teknologi Wahono Sumaryono. Antara lain kelima perusahaan itu adalah PT Trada Bioenergy, anak usaha PT Medco Energi International di Lampung Utara. Lalu PT Malindo Malang, yang berlokasi di Lawang-Malang, Jawa Timur, dan PT Lampung Distilerry di Lampung, PT Indo Acidatama Tbk berlokasi di Solo, serta keluarga Sampoerna berinvestasi di Jawa Timur. Dengan dukungan itu, pada 2010 dipastikan produksi bioetanol Indonesia mencapai 280 juta liter/tahun. Selanjutnya, produksi bioetanol yang meningkat akan diikuti peningkatan aplikasi bioetanol menjadi E-10 atau E-20.

Mobil cerdas
Brasil, negara penghasil bioetanol terbesar di dunia memiliki lebih dari 300 pabrik etanol. Negara yang beribukota Brasilia city itu mulai mengembangkan etanol berbahan baku tetes dan nira tebu pada 1970. Kini produksinya 14,7 milyar liter, pada kapasitas terpasang 18 milyar liter dan Lahan tebunya mencapai 5,5 juta hektar,. Biaya produksinya pun terendah di dunia US$14—16 sen/liter.
Sejak 2003 di Brasil dikembangkan mobil flexi fuel vehicle (FFV) yang menggunakan gasohol atau etanol saja. FFV adalah sejenis mobil cerdas karena dilengkapi dengan sensor dan panel otomatisasi yang dapat mengatur mesin untuk menggunakan campuran bensin-bioetanol pada berbagai komposisi, termasuk 100% etanol atau 100% bensin. Di negara itu peredaran mobil jenis ini telah mencapai 50% pada 2005.
Produsen etanol terbesar kedua adalah Amerika Serikat, memproduksi lebih dari 10 miliar liter pertahun. Bahan baku etanol 90% berasal dari jagung dan 10% berasal dari gandum. Semenjak etanol digunakan, bahan aditif Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE) dilarang. Cina, produsen etanol terbesar ketiga dunia. Pada 2003 diresmikan pabrik etanol terbesar di dunia, Jilin Ethanol Plant yang berkapasitas 1,25-juta liter per hari. Sehingga total produksinya mencapai 5,5 juta liter per hari atau 1,5 miliar liter per tahun dengan bahan bakunya gandum, gaplek, tebu, dan sorgum manis.
Dukungan pemerintah mendorong perkembangan penggunaan bioetanol di negara lain. Di Thailand misalnya, diberlakukan insentif pembebasan pajak perusahaan , bea masuk, dan pajak barang modal selama delapan tahun diberikan pada industri etanol. Jika pemerintah Indonesia, swasta dan petani dapat bekerja sama, substitusi 5% bensin dapat menghemat US$1,539-miliar setara Rp1,539 triliun. Itulah nilai subsidi 0,86 miliar liter pada 2005 dengan nilai subsidi Rp1.790/liter. Penghematan bakal kian besar, jika persentase substitusinya meningkat. (Vina Fitriani/Peliput: Lani Marliani & Hermansyah)

Tidak ada komentar: